Senin, 14 Mei 2012

ANALISIS NOVEL RANAH 3 WARNA

Analisis Novel :
Judul Buku  : Ranah 3 Warna
(Buku kedua Trilogi Negeri 5 Menara)
Pengarang   : Ahmad Fuadi
Sinopsis       :

Alif dan Randai adalah kawan semasa kecil. Mereka sangatlah dekat satu sama lain. Namun, di lain sisi mereka juga saling bersaing. Menjadi mahasiswa ITB adalah impian Alif sejak dulu. Kini ia telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pondok Madani. Namun, ia tidak memiliki ijazah SMA. Banyak teman di kampungnya yang meragukan  kemampuannya untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Namun Alif tidak berkecil hati, ia tetap pada mimpinya.
            
Akhirnya, ia halau  banyak remehan, ia tutup telinga dengan semua perkataan yang melukai hatinya untuk tetap meraih mimpi. Ia bulatkan tekad dengan  belajar keras setiap hari, dengan bantuan teman-teman yang bersimpati dengannya. Akhirnya, ia berhasil lulus ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Namun ia bersyukur dan berjanji akan belajar lebih keras lagi dalam menempuh UMPTN. Ia percaya pada mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok Madani; man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.
             
Dalam persiapan menuju UMPTN, ia belajar segenap daya dan  upaya. Tak lupa ia memohon doa dan restu orang tuanya agar dapat lulus UMPTN. Ia tetap pada mimpinya: menjadi mahasiswa ITB. Namun, saat itu hanya sedikit waktu yang dimilikinya untuk bisa menuntaskan semua pelajaran IPA. Ia merasa harus memilih pilihan lain. Ia harus realistis. Sejak saat itu, ia ubah haluan dan berganti pada pilihan IPS. Melihat daftar universitas dan program studinya saat itu, hatinya tertarik dengan Hubungan Internasional UNPAD. Alhasil, ia bulatkan segenap tekadnya untuk bisa berhasil lulus UMPTN sekaligus menjadi mahasiswa HI UNPAD.
             
Alif benar-benar serius belajar menuju UMPTN. Ia merasa senang telah menguasai pelajaran-pelajaran yang selama ini ia tempuh dengan berkurung diri di kamar. Pernah  ia merasa sudah sangat penat, matanya pedas, dan sudah  tak kuat lagi menghabiskan materi yang belum ia kuasainya. Namun ia ingat pada prinsipnya. Ia harus lulus UMPTN. Akhirnya ia kuatkan dirinya untuk tetap bersemangat belajar.
            
Tak lupa di sela-sela waktunya mempersiapkan diri untuk UMPTN, ia sempatkan  untuk beranak batanggang dengan ayahnya. Menonton sepak bola sampai dini hari ditemani bergelas-gelas kopi. Ia sempatkan waktunya, namun ia tetap berjanji untuk lulus UMPTN. Saat itu, ia bertaruh dengan ayahnya melihat tim yang akan memenangkan pertandingan. Alif sengaja memilih tim yang banyak diremehkan orang. Ia memilih tim kesebelasan Denmark. Ayahnya memegang Jerman. Ternyata, saat  itu tim Denmark yang tidak disangka-sangka sebelumnya, berhasil menaklukkan Jerman pada babak final melalui tendangan pinalti. Berkaca dari hal ini  Alif yang merasa dirinya senasib dengan tim Denmark yang dianggap sebelah mata, timbul semangatnya untuk bekerja lebih keras lagi. Akhirnya, dengan kesungguhan tekad ia berjanji dalam hati untuk membuktikan bahwa ia bisa tembus UMPTN.
            
Akhirnya, ujian itu pun tiba. Alif telah memaksimalkan  usahanya untuk UMPTN ini. Ia berusaha menjawab semua soal yang ada. Ia kerahkan segenap kemampuan dan daya pikirnya untuk bisa lolos. Beberapa hari setelah itu, ia mengajak ayahnya untuk melihat hasil UMPTN yang dimuat di koran Haluan. Pagi-pagi benar  ia menunggu bus bersama  ayahnya. Akhirnya setelah  bus datang, ia cepat-cepat membuka halaman yang memuat pengumuman UMPTN. Dalam harap dan doa yang tiada putus, ia mencari nama dan  nomor ujiannya. Ia bersyukur sekali ketika mengetahui dirinya lulus UMPTN dan berhasil  masuk menjadi mahasiswa HI UNPAD. Ia bahkan  mengabari teman-temannya para shahibul Menara yang dekat dengannya selama di Pondok Madani dulu. Ia berbagi kabar bahagia sekaligus berbagi semangat hidup.
             
Tiba waktunya ia harus ke Bandung, memulai kuliah. Ayah dan amaknya berpesan untuk selalu berhati-hati di tanah  rantau. Sang ayah  memberinya sepatu kulit baru, yang  ia juluki Si Hitam. Dengan bermodalkan segenap lembar rupiah bersama sepatu dan doa Amak dan ayahnya, ia berangkat ke Bandung.
            
Sesampainya di Bandung, ia tak tahu harus tinggal dengan siapa. Ia teringat Randai, sahabat karibnya semasa kecil. Akhirnya, ia berusaha mencari alamat sahabatnya itu, dan berhasil menemukannya. Sejak  saat itu, ia tinggal bersama Randai dalam satu  kamar kos. Ia berjanji sampai mendapatkan kos yang baru, baru ia akan tinggal di tempat yang lain.
             
Alif memasuki masa yang baru, menjadi seorang mahasiswa. Kali pertama ia harus melewati serangkaian ospek untuk bisa lebih mengenali kampus dan berkenalan dengan  teman-temannya yang baru. Ada Wira, Agam, dan Memet. Pada masa-masa perkenalan kampus itulah ia mencoba untuk aktif dalam berorganisasi. Ia mengikuti renang, meski matanya sering merah dan timbul bercak-bercak putih di kulitnya yang ia kira panu, namun bukan  panu. Ia juga berminat untuk memasuki dunia tulis-menulis. Ia mengenal Bang Togar, seorang senior yang berbakat dalam dunia jurnalisme. Ia berusaha untuk berguru kepadanya, meskipun sebenarnya Bang Togar adalah seorang yang sangat keras. Ia harus bersabar ketika hasil menulisnya harus dicoret besar-besar dengan spidol merah dan harus bolak-balik ke rumah kos Bang Togar ketika ada deadline  yang harus ia serahkan  langsung. Pernah suatu  ketika ia merasa jenuh dan tak kuat dengan tuntutan Bang Togar yang keras, namun ia harus menguatkan hatinya dan tetap bersemangat karena ia menganggap bahwa itu merupakan bagian dari belajar. Ia juga berkenalan dengan Raisa, cewek yang dikenalinya sehabis turun dari angkot waktu itu.  Entah mengapa ia merasa ada yang lain dengan dirinya ketika berpapasan dengan gadis yang memesona itu.
          
Ia telah  melewati  semester satu. Ia senang ketika mendapatkan hasil belajar yang baik dan tulisannya di muat di majalah dinding kampus. Ketika itu, Ayah dan Amaknya yang ada di kampung ingin mengunjunginya ke Bandung. Ia merasa senang sekali. Telah ia uasahakan untuk tempat tinggal orang tuanya di Bandung dengan merayu Randai untuk bersedia meminjamkan kasur. Pun ia memiliki rencana untuk mengajak  keduanya berjalan-jalan  mengitari  keindahan kota Bandung. Namun saat itu, ada telegram dari Amak yang mengabarkan bahwa Ayah  sedang  sakit. Ia menyuruh Alif untuk segera pulang. Dengan seketika, ia bergegas menuju Sulawesi dengan menaiki bus. Sesampainya di rumah, Alif segera menemui ayahnya yang ternyata sedang terbaring lemas di bangsal ekonomi rumah sakit. Ayahnya yang melihatnya senang, karena anak bujangnya itu pulang. Namun Alif tak sampai hati melihat ayahnya itu. Ayahnya kini semakin kurus, cincin di jarinya pun longgar. Ia iba melihat ayahnya yang  telah  sakit selama tiga hari itu. Ia pun menyuapi ayahnya dengan sesendok demi  sesendok bubur, berharap ayahnya cepat sembuh dan kembali seperti dulu. Ayah merasa bangga kepada Alif. Pun suatu ketika, ayah memintanya untuk berfoto bersama dalam ruangan  rumah sakit itu, sekeluarga berlima. Hari demi  hari Alif telaten dan bersedia mengurus ayahnya selama di rumah sakit. Hingga kesehatan ayahnya benar-benar pulih dan akhirnya dipersilakan pulang ke rumah oleh dokter.
             
Alif senang mendengar pernyataan dokter yang memperbolehkan ayahnya kembali pulang ke rumah. Kesehatan ayahnya memang berangsur-angsur pulih. Ia pun ingin segera kembali ke Bandung. Namun, hari itu pula ia harus menyaksikan ayahnya yang  batuk-batuk, kedinginan, dan sungguh di luar dugaan, hari itu sang ayah harus menghadap sang Khalik, meninggalkan Alif, Amak, beserta adik-adiknya untuk selamanya. Betapa sedih hati Alif, ia masih tak percaya jika sang ayah benar-benar telah tiada. Namun, ia harus menerima kenyataan dan ketentuan dari sang Khalik, tiada yang sempurna di dunia ini. Akhirnya ia harus berlapang dada dan benar-benar berjanji untuk melakukan apa yang diperintahkan ayah: tetap lanjut kuliah dan menjaga Amak dan adik-adiknya.
             
Selama beberapa hari berkabung itu, Alif harus benar-benar ikhlas merelakan kepergian sang ayah. Ia harus kembali ke Bandung. Dengan meminta izin kepada Amak yang disayanginya, ia harus segera kembali ke Bandung dan tetap melanjutkan kuliahnya, meskipun  ia tak tahu harus bagaimana hidup di rantau dalam posisi sebagai anak yatim.
             
Setibanya di Bandung, ia disambut hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai. Mereka mengucapkan rasa belasungkawa atas meninggalnya ayah Alif. Alif kini harus melewati hari-hari normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, amaknya di kampung sana bekerja keras untuk dapat membiayai Alif. Ia tak sampai hati dan  merasa terlalu memberatkan Amaknya. Ia tak tega. Dan sejak saat itu, ia bertekad dalam hati untuk mampu  membiayai  hidupnya selama di Bandung, bahkan  kalau bisa, ia harus mengirimkan uang kepada Amak dan adik-adiknya di kampung.
             
Ia mulai merambah usaha-usaha. Ia bahkan menjual produk-produk yang digemari ibu-ibu. Ia berjualan songket, kain tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Ia menekan  segenap ego dan gengsi. Sejak saat itu ia berusaha bagaimana caranya untuk bisa membiayai diri sendiri dan juga Amaknya. Nilai-nilai kuliah Alif sempat turun, bahkan beberapa ada nilai yang C dan D. Ia sangatlah fokus kepada produk yang dijualnya. Hingga akhirnya ia sampai jatuh sakit. Ia terkena tifus selama tiga minggu. Ia semakin tak berdaya ketika ia dirampok beberapa orang tak dikenalnya. Ia pun bangkrut.
            
Keadaan Alif semakin  tidak  membaik. Ia kurus. Namun, saat itu pula ia harus besabar menjalani hidup yang penuh rintangan. Ia teringat pada mantra sakti yang ia dapatkan selama belajar di Pondok Madani dulu, man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan beruntung. Sejak saat itu, ia menyerahkan segenap hidupnya pada Allah, dengan kesabaran dan keikhlasan hatinya.
            
Alif berusaha bangkit. Ia pun kembali menemui bang Togar untuk belajar menulis seperti dulu. Pun ia ditempa habis-habisan. Ia harus bersabar ketika tulisannya dicoret, dan akhirnya beberapa tulisannya pun di muat di surat kabar. Ia senang sekaligus bangga karena saat itu ia mulai dikenal orang. Alif terus memulai langkah hidup baru. Ia kini semakin focus pada kegiatan tulis-menulisnya. Ia kini bahkan mampu mengirimi uang kepada Amak di kampung.
             
Pun suatu ketika, ia berselisih paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara meminjam komputer itu, hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat itu Alif memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak meminjam barang kepada orang lain.
             
Alif semakin bersemangat menjalani hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar: mendapat beasiswa ke luar negeri. Ia berharap bisa singgah di negeri yang sangat dikaguminya: Amerika.
            
Ia pun mencari peruntungan dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya. Pada suatu hari ia bertemu Asti, kakak kelas yang mendapat beasiswa dan pertukaran  mahasiswa Indonesia-Kanada. Ia ingin menjadi seperti Asti. Akhirnya dengan segenap tekad, usaha, doa, dan mantra saktinya: man jadda wa jada ia berhasil mewujudkan mimpinya menuju Kanada. Ia merasa lebih unggul dari sahabatnya, Randai. Ia berhasil membuktikan kepada sahabatnya itu.
            
Alif bertambah senang ketika ia mendapatkan kesempatan bersama Raisa untuk mengikuti pertukaran  mahasiswa Indonesia-Kanada. Nampaknya ia jatuh hati kepada gadis itu. Namun sayangnya, Alif tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menyampaikannya kepada Raisa.
             
Tiba waktunya Alif beserta segenap duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Ia bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang kesatria berpantun. Ketika sesampainya di Kanada, ia dibagi oleh sang kakak yang memandu. Alif ditempatkan di Quebec, bersama Franc Pepin. Mereka pun sangat beruntung memiliki keluarga asuh yang baik. Frandinand dan Mado.
             
Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda berkebangsaan Kanada yang arogan itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan memantapkan segenap daya dan upayanya berdasarkan man jadda wa ja   ia berhasil bersama Francois Pepin merebut medali emas. Ia pun berhasil menarik perhatian Raisa. Semakin hari, nampaknya ia semakin jatuh hati kepada gadis itu. Pernah ia datang ke kantor Raisa, namun lagi-lagi ia tak berhasil menyampaikan maksudnya itu.
             
Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia. Mereka sukses mempertunjukkan  kebolehan  mereka memainkan tarian adat dan  memasak makanan  asli Indonesia yang memikat. Selain itu, berdesir dalam darah mereka nama Indonesia, negeri tercinta yang kini mampu sejajar dengan bangsa yang lain. Semakin menggelegak semangat mereka memperjuangkan tanah sendiri di rantau.
             
Alif berhasil melalui ranah 3 warna dalam  hidunya. Bandung, Amman, dan Saint Raymond. Ia pun menjadi orang yang berhasil disamping usaha dan kerja kerasnya saat ini. 

 
Nilai-nilai yang Terkandung :
1.      Nilai Religius :
-          Manusia berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Hidup adalah soal penyerahan  diri. Apabila kita telah berusaha dengan  segenap daya dan upaya, maka berserah dirilah dengan tetap mengharap ridha Allah.
Bukti :
*      Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan  kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya.
*      Kalau aku sudah bingung dan  terlalu capek  menghadapi segala tekanan  hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan ‘mencukupkan’ semua kebutuhan kita.
-          Kita harus sabar dalam menjalani hidup.
            Bukti :
*      Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini, terang di mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku.

2.      Nilai Moral :
-          Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan kemampuan orang lain. Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan.  
Bukti :
*      Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar.
*      “Hmm, kuliah dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan  tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”
*      “Kalau gitu, jauh panggang dari apilah. Aden  saja dua kali mencoba baru tembus. Padahal NEM aden tinggi”
-          Dalam setiap kesempatan  dan  kondisi tertentu, tetaplah menjadi diri sendiri dan berlaku baik dalam segala hal, termasuk bersikap jujur.
            Bukti :
*      Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?
-          Sebagai anak, kita harus berbakti kepada orang tua.
Bukti :
*      Biar ambo yang menyuapi, Mak.” Aku mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok demi sesendok aku suapi ayah. Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan saputangan.
*      Aku akan mendoakan Ayah dari sini. Aku akan mencoba menjadi anak yang saleh yang terus mendoakanmu, supaya menjadi amalmu yang tidak akan  putus. Aku akan mengingat selalu  nasihat terakhir Ayah.
*      Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku  susut. Aku ikhlas mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku.
*      Ke  hadapan  Amak yang mulia. Hanya ini yang bisa ananda kirimkan kepada Amak. Walau  hanya Rp30.000, tapi insya Allah ini hasil keringat sendiri yang halal. Semoga bisa membantu Amak dan adik-adik. Mohon doa Amak agar ananda dimudahkan selalu untuk hidup di rantau, menuntut ilmu dan mencari rezeki. Sembah sujud ananda. Alif.

3.      Nilai Sosial
-          Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam  setiap keadaan.
Bukti :
*      Untunglah Zulman, temanku  yang  resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya semua buku SMA , bersedia meminjamiku.
*      Kalau tidak ada penjual bakso yang berbaik hati menunjukkan  jalan, aku sudah pasti tersesat di gang yang berliku-liku ini.
*      “Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.”
*      Kami berganti-ganti menjaga Rusdi di rumah sakit. Tapi hanya satu orang setiap kali yang boleh berjaga dan sisanya menganggur. Melihat kami akan terlunta-lunta 3 hari di Amman, staf kedutaan, Tyson, dan Kurdi bahu-membahu membantu kami dengan menyusun jadwal jalan-jalan bagi kami ke sekitar Yordania.
-          Mensedekahkan rezeki yang kita miliki kepada orang yang berhak.
            Bukti :
*      Sore itu, aku datangi sebuah  panti asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais lembar  terakhir  isi dompetku dan aku serahkan ke bapak pengurus panti itu.
-          Menjaga kepercayaan adalah hal yang penting dalam persahabatan.
            Bukti :
*      Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam.

4.      Nilai Budaya
-          Nilai ini mengandung  kebiasaan  yang pernah atau sering dilakukan tokoh bersama tokoh yang lain.
Bukti :
*      Sejak kecil, kami konco palangkin. Kawan sangat akrab. Pada bulan puasa, kami bahu-membahu menebang betung untuk membikin meriam  bambu. Tapi malamnya kami saling berlomba membuat meriam yang meletus paling keras.
*      Sejak kecil aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas kampung sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu khusus aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja. 

5.      Nilai Pendidikan
-          Dalam hidup ini, manusia harus memiliki mimpi dan kemauan yang keras untuk meraih mimpinya. Niat adalah awal yang baik dalam  memulai  mimpi. Tetap pada  prinsip serta tidak mudah menyerah  adalah kunci menuju  keberhasilan hidup.
Bukti :
*      Pagi itu, dengan  mengepalkan  tinjuku, aku bulatkan  tekad, aku bulatkan  doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan kalau niat kuat telah dihunus, halangan apa pun akan aku tebas.
*      Bila aku  bosan belajar, aku bisikkan ke diri sendiri nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
*      Awalnya aku kesal, tapi lama-lama aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar negeri.
-          Seberat apapun ujian yang kita dapatkan, maka janganlah bersikap pesimis dan rendah diri. Tetap optimis, tetap berjuang dan tetap semangat.
            Bukti :
*      Semakin banyak yang melihat aku dengan sebelah mata, semakin menggelegak semangatku  untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun.
*      Dengan segenap jiwa, aku tegaskan bahwa aku tidak mau menjadi pecundang, orang yang  kalah sebelum  berjuang. Setiap pikiran sumbang yang mencoba tumbuh di kepalaku, aku serang balik.
-          Dalam menjalani hidup, kita tidak boleh bermalas-malasan.
            Bukti :
*      “Coba kau lihat. Berapa pun mereka bekerja keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan  membantu  orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!” katanya berapi-api menunjuk-nunjuk hidungku.
*      “Dulu waktu aku baru  merantau ke Bandung,  aku tidak  punya apa-apa. Hanya modal  nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku sendiri, lalu malas-malasan dan menyalahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini. Aku melihat pedihnya hidup mereka di kampung ini. Sampai disini aku baru tahu bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak pantas aku bermalas-malasan.
-          Kesuksesan dan keberhasilan akan dapat kita raih dengan kesungguhan dan keseriusan belajar.
            Bukti :
*      Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguh-sungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wa jada dan man shabara zhafira adalah kesuksesan.

6.      Nilai Estetika
-          Nilai yang berkaitan dengan unsur cita dan keindahan yang nampak dalam kehidupan tokoh sehari-hari.
Bukti :
*      Langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau  yang biru pekat, dan angin danau  yang lembut mengelus ubun-ubun.
*      Kampusku, Jurusan Hubungan Internasional terletak di pinggang perbukitan  Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss. Bangunannya tua, bergaya art deco yang lurus-lurus dinanungi rimbunan pohon-pohon  tanjung yang besar. Jalan aspal mendaki ke kampus ini diseraki daun besar-besar yang gugur. Burung sibuk bercericit di sana-sini.
*      Begitu sampai di depan terminal kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku untuk menyentuh daun  maple yang selama ini hanya aku lihat di gambar. Daunnya agak lonjong dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya terasa kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada yang kuning, dan ada yang mulai memerah terang, bahkan ada daun yang memuat kombinasi ketiga warna itu. Indah sekali.

3 komentar: