Judul Buku : Ranah 3 Warna
(Buku kedua Trilogi
Negeri 5 Menara)
Pengarang : Ahmad Fuadi
Sinopsis :
Alif
dan Randai adalah kawan semasa kecil. Mereka sangatlah dekat satu sama lain.
Namun, di lain sisi mereka juga saling bersaing. Menjadi mahasiswa ITB adalah
impian Alif sejak dulu. Kini ia telah menyelesaikan pendidikan agamanya di
Pondok Madani. Namun, ia tidak memiliki ijazah SMA. Banyak teman di kampungnya
yang meragukan kemampuannya untuk bisa
tembus UMPTN, termasuk Randai. Namun Alif tidak berkecil hati, ia tetap pada
mimpinya.
Akhirnya, ia halau banyak remehan, ia tutup telinga dengan semua
perkataan yang melukai hatinya untuk tetap meraih mimpi. Ia bulatkan tekad
dengan belajar keras setiap hari, dengan
bantuan teman-teman yang bersimpati dengannya. Akhirnya, ia berhasil lulus
ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Namun ia bersyukur
dan berjanji akan belajar lebih keras lagi dalam menempuh UMPTN. Ia percaya
pada mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok Madani; man jadda wa jada. Siapa yang
bersungguh-sungguh akan sukses.
Dalam persiapan menuju UMPTN, ia
belajar segenap daya dan upaya. Tak lupa
ia memohon doa dan restu orang tuanya agar dapat lulus UMPTN. Ia tetap pada
mimpinya: menjadi mahasiswa ITB. Namun, saat itu hanya sedikit waktu yang
dimilikinya untuk bisa menuntaskan semua pelajaran IPA. Ia merasa harus memilih
pilihan lain. Ia harus realistis. Sejak saat itu, ia ubah haluan dan berganti
pada pilihan IPS. Melihat daftar universitas dan program studinya saat itu,
hatinya tertarik dengan Hubungan Internasional UNPAD. Alhasil, ia bulatkan
segenap tekadnya untuk bisa berhasil lulus UMPTN sekaligus menjadi mahasiswa HI
UNPAD.
Alif benar-benar serius belajar
menuju UMPTN. Ia merasa senang telah menguasai pelajaran-pelajaran yang selama
ini ia tempuh dengan berkurung diri di kamar. Pernah ia merasa sudah sangat penat, matanya pedas,
dan sudah tak kuat lagi menghabiskan
materi yang belum ia kuasainya. Namun ia ingat pada prinsipnya. Ia harus lulus
UMPTN. Akhirnya ia kuatkan dirinya untuk tetap bersemangat belajar.
Tak lupa di sela-sela waktunya
mempersiapkan diri untuk UMPTN, ia sempatkan untuk beranak batanggang dengan ayahnya. Menonton sepak bola sampai dini hari
ditemani bergelas-gelas kopi. Ia sempatkan waktunya, namun ia tetap berjanji
untuk lulus UMPTN. Saat itu, ia bertaruh dengan ayahnya melihat tim yang akan
memenangkan pertandingan. Alif sengaja memilih tim yang banyak diremehkan
orang. Ia memilih tim kesebelasan Denmark. Ayahnya memegang Jerman. Ternyata,
saat itu tim Denmark yang tidak
disangka-sangka sebelumnya, berhasil menaklukkan Jerman pada babak final
melalui tendangan pinalti. Berkaca dari hal ini Alif yang merasa dirinya senasib dengan tim
Denmark yang dianggap sebelah mata, timbul semangatnya untuk bekerja lebih
keras lagi. Akhirnya, dengan kesungguhan tekad ia berjanji dalam hati untuk
membuktikan bahwa ia bisa tembus UMPTN.
Akhirnya, ujian itu pun tiba. Alif
telah memaksimalkan usahanya untuk UMPTN
ini. Ia berusaha menjawab semua soal yang ada. Ia kerahkan segenap kemampuan
dan daya pikirnya untuk bisa lolos. Beberapa hari setelah itu, ia mengajak
ayahnya untuk melihat hasil UMPTN yang dimuat di koran Haluan. Pagi-pagi benar ia
menunggu bus bersama ayahnya. Akhirnya
setelah bus datang, ia cepat-cepat
membuka halaman yang memuat pengumuman UMPTN. Dalam harap dan doa yang tiada
putus, ia mencari nama dan nomor
ujiannya. Ia bersyukur sekali ketika mengetahui dirinya lulus UMPTN dan
berhasil masuk menjadi mahasiswa HI
UNPAD. Ia bahkan mengabari
teman-temannya para shahibul Menara yang dekat dengannya selama di Pondok
Madani dulu. Ia berbagi kabar bahagia sekaligus berbagi semangat hidup.
Tiba waktunya ia harus ke Bandung,
memulai kuliah. Ayah dan amaknya berpesan untuk selalu berhati-hati di tanah rantau. Sang ayah memberinya sepatu kulit baru, yang ia juluki Si Hitam. Dengan bermodalkan segenap
lembar rupiah bersama sepatu dan doa Amak dan ayahnya, ia berangkat ke Bandung.
Sesampainya di Bandung, ia tak tahu
harus tinggal dengan siapa. Ia teringat Randai, sahabat karibnya semasa kecil.
Akhirnya, ia berusaha mencari alamat sahabatnya itu, dan berhasil menemukannya.
Sejak saat itu, ia tinggal bersama
Randai dalam satu kamar kos. Ia berjanji
sampai mendapatkan kos yang baru, baru ia akan tinggal di tempat yang lain.
Alif memasuki masa yang baru, menjadi
seorang mahasiswa. Kali pertama ia harus melewati serangkaian ospek untuk bisa
lebih mengenali kampus dan berkenalan dengan teman-temannya yang baru. Ada Wira, Agam, dan
Memet. Pada masa-masa perkenalan kampus itulah ia mencoba untuk aktif dalam
berorganisasi. Ia mengikuti renang, meski matanya sering merah dan timbul
bercak-bercak putih di kulitnya yang ia kira panu, namun bukan panu. Ia juga berminat untuk memasuki dunia
tulis-menulis. Ia mengenal Bang Togar, seorang senior yang berbakat dalam dunia
jurnalisme. Ia berusaha untuk berguru kepadanya, meskipun sebenarnya Bang Togar
adalah seorang yang sangat keras. Ia harus bersabar ketika hasil menulisnya
harus dicoret besar-besar dengan spidol merah dan harus bolak-balik ke rumah
kos Bang Togar ketika ada deadline yang harus ia serahkan langsung. Pernah suatu ketika ia merasa jenuh dan tak kuat dengan
tuntutan Bang Togar yang keras, namun ia harus menguatkan hatinya dan tetap
bersemangat karena ia menganggap bahwa itu merupakan bagian dari belajar. Ia
juga berkenalan dengan Raisa, cewek yang dikenalinya sehabis turun dari angkot
waktu itu. Entah mengapa ia merasa ada
yang lain dengan dirinya ketika berpapasan dengan gadis yang memesona itu.
Ia telah melewati semester satu. Ia senang ketika mendapatkan
hasil belajar yang baik dan tulisannya di muat di majalah dinding kampus.
Ketika itu, Ayah dan Amaknya yang ada di kampung ingin mengunjunginya ke
Bandung. Ia merasa senang sekali. Telah ia uasahakan untuk tempat tinggal orang
tuanya di Bandung dengan merayu Randai untuk bersedia meminjamkan kasur. Pun ia
memiliki rencana untuk mengajak keduanya
berjalan-jalan mengitari keindahan kota Bandung. Namun saat itu, ada
telegram dari Amak yang mengabarkan bahwa Ayah sedang sakit.
Ia menyuruh Alif untuk segera pulang. Dengan seketika, ia bergegas menuju Sulawesi
dengan menaiki bus. Sesampainya di rumah, Alif segera menemui ayahnya yang
ternyata sedang terbaring lemas di bangsal ekonomi rumah sakit. Ayahnya yang
melihatnya senang, karena anak bujangnya itu pulang. Namun Alif tak sampai hati
melihat ayahnya itu. Ayahnya kini semakin kurus, cincin di jarinya pun longgar.
Ia iba melihat ayahnya yang telah sakit selama tiga hari itu. Ia pun menyuapi
ayahnya dengan sesendok demi sesendok
bubur, berharap ayahnya cepat sembuh dan kembali seperti dulu. Ayah merasa
bangga kepada Alif. Pun suatu ketika, ayah memintanya untuk berfoto bersama
dalam ruangan rumah sakit itu,
sekeluarga berlima. Hari demi hari Alif telaten
dan bersedia mengurus ayahnya selama di rumah sakit. Hingga kesehatan ayahnya
benar-benar pulih dan akhirnya dipersilakan pulang ke rumah oleh dokter.
Alif senang mendengar pernyataan
dokter yang memperbolehkan ayahnya kembali pulang ke rumah. Kesehatan ayahnya
memang berangsur-angsur pulih. Ia pun ingin segera kembali ke Bandung. Namun,
hari itu pula ia harus menyaksikan ayahnya yang batuk-batuk, kedinginan, dan sungguh di luar
dugaan, hari itu sang ayah harus menghadap sang Khalik, meninggalkan Alif,
Amak, beserta adik-adiknya untuk selamanya. Betapa sedih hati Alif, ia masih
tak percaya jika sang ayah benar-benar telah tiada. Namun, ia harus menerima kenyataan
dan ketentuan dari sang Khalik, tiada yang sempurna di dunia ini. Akhirnya ia
harus berlapang dada dan benar-benar berjanji untuk melakukan apa yang
diperintahkan ayah: tetap lanjut kuliah dan menjaga Amak dan adik-adiknya.
Selama beberapa hari berkabung itu,
Alif harus benar-benar ikhlas merelakan kepergian sang ayah. Ia harus kembali
ke Bandung. Dengan meminta izin kepada Amak yang disayanginya, ia harus segera
kembali ke Bandung dan tetap melanjutkan kuliahnya, meskipun ia tak tahu harus bagaimana hidup di rantau
dalam posisi sebagai anak yatim.
Setibanya di Bandung, ia disambut
hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai. Mereka mengucapkan rasa
belasungkawa atas meninggalnya ayah Alif. Alif kini harus melewati hari-hari
normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, amaknya di kampung sana bekerja keras
untuk dapat membiayai Alif. Ia tak sampai hati dan merasa terlalu memberatkan Amaknya. Ia tak
tega. Dan sejak saat itu, ia bertekad dalam hati untuk mampu membiayai hidupnya selama di Bandung, bahkan kalau bisa, ia harus mengirimkan uang kepada
Amak dan adik-adiknya di kampung.
Ia mulai merambah usaha-usaha. Ia
bahkan menjual produk-produk yang digemari ibu-ibu. Ia berjualan songket, kain
tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Ia menekan segenap ego dan gengsi. Sejak saat itu ia
berusaha bagaimana caranya untuk bisa membiayai diri sendiri dan juga Amaknya.
Nilai-nilai kuliah Alif sempat turun, bahkan beberapa ada nilai yang C dan D.
Ia sangatlah fokus kepada produk yang dijualnya. Hingga akhirnya ia sampai
jatuh sakit. Ia terkena tifus selama tiga minggu. Ia semakin tak berdaya ketika
ia dirampok beberapa orang tak dikenalnya. Ia pun bangkrut.
Keadaan Alif semakin tidak membaik.
Ia kurus. Namun, saat itu pula ia harus besabar menjalani hidup yang penuh
rintangan. Ia teringat pada mantra sakti yang ia dapatkan selama belajar di
Pondok Madani dulu, man shabara zhafira:
siapa yang bersabar akan beruntung. Sejak saat itu, ia menyerahkan segenap
hidupnya pada Allah, dengan kesabaran dan keikhlasan hatinya.
Alif berusaha bangkit. Ia pun
kembali menemui bang Togar untuk belajar menulis seperti dulu. Pun ia ditempa
habis-habisan. Ia harus bersabar ketika tulisannya dicoret, dan akhirnya
beberapa tulisannya pun di muat di surat kabar. Ia senang sekaligus bangga
karena saat itu ia mulai dikenal orang. Alif terus memulai langkah hidup baru.
Ia kini semakin focus pada kegiatan tulis-menulisnya. Ia kini bahkan mampu
mengirimi uang kepada Amak di kampung.
Pun suatu ketika, ia berselisih
paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara meminjam komputer itu,
hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat itu Alif
memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak
meminjam barang kepada orang lain.
Alif semakin bersemangat menjalani
hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar:
mendapat beasiswa ke luar negeri. Ia berharap bisa singgah di negeri yang
sangat dikaguminya: Amerika.
Ia pun mencari peruntungan dengan
mencari informasi sebanyak-banyaknya. Pada suatu hari ia bertemu Asti, kakak
kelas yang mendapat beasiswa dan pertukaran
mahasiswa Indonesia-Kanada. Ia ingin menjadi seperti Asti. Akhirnya
dengan segenap tekad, usaha, doa, dan mantra saktinya: man jadda wa jada ia berhasil mewujudkan mimpinya menuju Kanada. Ia
merasa lebih unggul dari sahabatnya, Randai. Ia berhasil membuktikan kepada
sahabatnya itu.
Alif bertambah senang ketika ia
mendapatkan kesempatan bersama Raisa untuk mengikuti pertukaran mahasiswa Indonesia-Kanada. Nampaknya ia jatuh
hati kepada gadis itu. Namun sayangnya, Alif tidak memiliki keberanian
sedikitpun untuk menyampaikannya kepada Raisa.
Tiba waktunya Alif beserta segenap
duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Ia
bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang kesatria berpantun. Ketika
sesampainya di Kanada, ia dibagi oleh sang kakak yang memandu. Alif ditempatkan
di Quebec, bersama Franc Pepin. Mereka pun sangat beruntung memiliki keluarga
asuh yang baik. Frandinand dan Mado.
Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif
pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukkan
kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda
berkebangsaan Kanada yang arogan itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan
memantapkan segenap daya dan upayanya berdasarkan man jadda wa ja ia berhasil bersama Francois Pepin merebut
medali emas. Ia pun berhasil menarik perhatian Raisa. Semakin hari, nampaknya
ia semakin jatuh hati kepada gadis itu. Pernah ia datang ke kantor Raisa, namun
lagi-lagi ia tak berhasil menyampaikan maksudnya itu.
Bersama duta Indonesia yang lain di
Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia. Mereka sukses mempertunjukkan kebolehan mereka memainkan tarian adat dan memasak makanan asli Indonesia yang memikat. Selain itu,
berdesir dalam darah mereka nama Indonesia, negeri tercinta yang kini mampu
sejajar dengan bangsa yang lain. Semakin menggelegak semangat mereka
memperjuangkan tanah sendiri di rantau.
Alif berhasil melalui ranah 3 warna
dalam hidunya. Bandung, Amman, dan Saint
Raymond. Ia pun menjadi orang yang berhasil disamping usaha dan kerja kerasnya
saat ini.
Nilai-nilai
yang Terkandung :
1.
Nilai
Religius :
-
Manusia
berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Hidup adalah soal penyerahan diri. Apabila kita telah berusaha dengan segenap daya dan upaya, maka berserah dirilah
dengan tetap mengharap ridha Allah.
Bukti
:
Telah pula aku sempurnakan kerja keras
dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan
semuanya.
Kalau aku sudah bingung dan terlalu capek menghadapi segala tekanan hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu
siapa saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan ‘mencukupkan’
semua kebutuhan kita.
-
Kita
harus sabar dalam menjalani hidup.
Bukti :
Perjuangan tidak hanya butuh kerja
keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan.
Kini, terang di mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar.
Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku.
2.
Nilai
Moral :
-
Sebagai
sesama makhluk ciptaan Allah, kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan
kemampuan orang lain. Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih
kesuksesan.
Bukti
:
Randai hanya melirikku sambil tersenyum
timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu
kurang ajar.
“Hmm, kuliah dimana setelah pesantren?
Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut
UMPTN?”
“Kalau gitu, jauh panggang dari apilah. Aden saja dua kali mencoba baru tembus. Padahal NEM
aden tinggi”
-
Dalam
setiap kesempatan dan kondisi tertentu, tetaplah menjadi diri
sendiri dan berlaku baik dalam segala hal, termasuk bersikap jujur.
Bukti
:
Joki? Aku menggeleng keras untuk
perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan
keikhlasan?
-
Sebagai
anak, kita harus berbakti kepada orang tua.
Bukti
:
“Biar
ambo yang menyuapi, Mak.” Aku
mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok demi sesendok aku suapi ayah.
Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan saputangan.
Aku akan mendoakan Ayah dari sini. Aku
akan mencoba menjadi anak yang saleh yang terus mendoakanmu, supaya menjadi
amalmu yang tidak akan putus. Aku akan
mengingat selalu nasihat terakhir Ayah.
Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk
memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang tua? Biarlah tulang
mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku
ikhlas mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku.
Ke hadapan Amak yang mulia. Hanya ini yang bisa ananda
kirimkan kepada Amak. Walau hanya
Rp30.000, tapi insya Allah ini hasil keringat sendiri yang halal. Semoga bisa
membantu Amak dan adik-adik. Mohon doa Amak agar ananda dimudahkan selalu untuk
hidup di rantau, menuntut ilmu dan mencari rezeki. Sembah sujud ananda. Alif.
3.
Nilai
Sosial
-
Sebagai
makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam setiap keadaan.
Bukti :
Untunglah Zulman, temanku yang resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya
semua buku SMA , bersedia meminjamiku.
Kalau tidak ada penjual bakso yang
berbaik hati menunjukkan jalan, aku
sudah pasti tersesat di gang yang berliku-liku ini.
“Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu
disini sampai ketemu kos yang pas.”
Kami berganti-ganti menjaga Rusdi di
rumah sakit. Tapi hanya satu orang setiap kali yang boleh berjaga dan sisanya
menganggur. Melihat kami akan terlunta-lunta 3 hari di Amman, staf kedutaan,
Tyson, dan Kurdi bahu-membahu membantu kami dengan menyusun jadwal jalan-jalan
bagi kami ke sekitar Yordania.
-
Mensedekahkan
rezeki yang kita miliki kepada orang yang berhak.
Bukti
:
Sore itu, aku datangi sebuah panti asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais
lembar terakhir isi dompetku dan aku serahkan ke bapak pengurus
panti itu.
-
Menjaga
kepercayaan adalah hal yang penting dalam persahabatan.
Bukti :
Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari
hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak
hanya gara-gara pinjam-meminjam.
4.
Nilai
Budaya
-
Nilai
ini mengandung kebiasaan yang pernah atau sering dilakukan tokoh
bersama tokoh yang lain.
Bukti
:
Sejak kecil, kami konco palangkin. Kawan sangat akrab. Pada bulan puasa, kami
bahu-membahu menebang betung untuk membikin meriam bambu. Tapi malamnya kami saling berlomba
membuat meriam yang meletus paling keras.
Sejak kecil aku sering diajak Ayah
menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas kampung sampai kabupaten.
Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu khusus aku dengan Ayah.
Hanya kami berdua saja.
5.
Nilai
Pendidikan
-
Dalam
hidup ini, manusia harus memiliki mimpi dan kemauan yang keras untuk meraih
mimpinya. Niat adalah awal yang baik dalam memulai mimpi. Tetap pada prinsip serta tidak mudah menyerah adalah kunci menuju keberhasilan hidup.
Bukti
:
Pagi itu, dengan mengepalkan tinjuku, aku bulatkan tekad, aku bulatkan doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan
berperang menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan kalau niat kuat telah
dihunus, halangan apa pun akan aku tebas.
Bila aku bosan belajar, aku bisikkan ke diri sendiri
nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah
berjuang.”
Awalnya aku kesal, tapi lama-lama aku
berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan sebagai pecut untuk malah
bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar negeri.
-
Seberat
apapun ujian yang kita dapatkan, maka janganlah bersikap pesimis dan rendah
diri. Tetap optimis, tetap berjuang dan tetap semangat.
Bukti
:
Semakin banyak yang melihat aku dengan
sebelah mata, semakin menggelegak semangatku untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh
meremehkan orang lain, bahkan tidak boleh meremehkan impian kita sendiri,
setinggi apa pun.
Dengan segenap jiwa, aku tegaskan bahwa
aku tidak mau menjadi pecundang, orang yang kalah sebelum berjuang. Setiap pikiran sumbang yang mencoba
tumbuh di kepalaku, aku serang balik.
-
Dalam
menjalani hidup, kita tidak boleh bermalas-malasan.
Bukti
:
“Coba kau lihat. Berapa pun mereka
bekerja keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga
anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak
punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses
untuk pendidikan, kau punya. Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”
katanya berapi-api menunjuk-nunjuk hidungku.
“Dulu waktu aku baru merantau ke Bandung, aku tidak punya apa-apa. Hanya modal nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku
sendiri, lalu malas-malasan dan menyalahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di
dekat tempat ini. Aku melihat pedihnya hidup mereka di kampung ini. Sampai
disini aku baru tahu bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak pantas aku
bermalas-malasan.
-
Kesuksesan
dan keberhasilan akan dapat kita raih dengan kesungguhan dan keseriusan
belajar.
Bukti :
Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar
akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan
berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguh-sungguh dan sabar
adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda
wa jada dan man shabara zhafira adalah
kesuksesan.
6.
Nilai
Estetika
-
Nilai
yang berkaitan dengan unsur cita dan keindahan yang nampak dalam kehidupan
tokoh sehari-hari.
Bukti
:
Langit bersih terang, Bukit Barisan
menghijau segar, air Danau Maninjau yang
biru pekat, dan angin danau yang lembut
mengelus ubun-ubun.
Kampusku, Jurusan Hubungan Internasional
terletak di pinggang perbukitan Dago,
menempel dengan Dago Tea Huiss.
Bangunannya tua, bergaya art deco yang
lurus-lurus dinanungi rimbunan pohon-pohon
tanjung yang besar. Jalan aspal mendaki ke kampus ini diseraki daun
besar-besar yang gugur. Burung sibuk bercericit di sana-sini.
Begitu sampai di depan terminal
kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku untuk menyentuh daun maple yang selama ini hanya aku lihat di
gambar. Daunnya agak lonjong dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya,
permukaannya terasa kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada yang
kuning, dan ada yang mulai memerah terang, bahkan ada daun yang memuat
kombinasi ketiga warna itu. Indah sekali.
wah suka baca novel ini ya mbak? lengkap sekali resensinya. :) salam kenal ya.
BalasHapustidak jauh dari isi novelnya, like ms..
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih :)
BalasHapus