Senin, 14 Mei 2012

Petani Muda, Petani Indonesia Masa Depan

Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam. [1] Data statistik pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 45% penduduk Indonesia bekerja di bidang agrikultur. [2] Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara ini memiliki lahan seluas lebih dari 31 juta ha yang telah siap tanam, dimana sebagian besarnya dapat ditemukan di Pulau Jawa. [3]

Sebagai negara yang sangat potensial di sektor pertanian, sudah selayaknya Indonesia  menjadi salah satu Negara makmur di dunia. Bagaimana tidak, kekayaan negeri  ini sangat melimpah ruah. Di segala sektor kehidupan menjamin secara pasti kesejahteraan manusia.  Namun sayangnya, kualitas sumber daya manusia yang ada di Indonesia belum sebanding dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada. 

Sebuah ironi. Negeri yang menyandang predikat agraris ini nyatanya tidak mampu melakukan  regenerasi petani dengan baik. Regenerasi petani sepertinya sudah digerus zaman. Anak-anak muda sudah tidak mau lagi menjadi petani. Ketika kesejahteraan sudah tidak bisa didapat lagi dari lahan pertanian, mereka pun meninggalkannya. Akibatnya, jumlah petani semakin menyusut dan tinggalah mereka yang tua yang masih bertahan. Bertahan ditengah himpitan sulitnya bertani karena harga pupuk yang mahal dan harga jual yang tidak begiitu menguntungkan. 
 
Menjadi kajian yang sangat menarik ketika kita berbicara tentang minat generasi muda yang minim sekali dalam sektor pertanian. Pertama, adanya kecenderungan para pemuda terutama yang tinggal di kawasan pedesaan yang kurang tertarik terhadap dunia pertanian. Hal ini   tentunya  berakibat  nyata bahwa dalam  sektor pertanian  banyak  didominasi oleh generasi tua yang umumnya kurang responsif terhadap perubahan. Di samping itu,  dalam  pandangan pemuda bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya disamping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tak memadai. Hal ini selain ditinjau secara ekonomi juga  didukung oleh budaya instan dan ingin cepat menghasilkan, sementara pertanian memerlukan proses panjang,dibutuhkan  keuletan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai resiko internal dan eksternal. Ditambah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak pro-petani dan justru seringkali membuat  pertanian dipandang sebelah mata dan dijadikan komoditas politik tanpa mempedulikan nasib dan masa depan pertanian.

Kedua,  kurangnya dukungan para orang tua baik secara mental maupun material terhadap anak-anak muda untuk menjadi petani. Alih-alih memberikan dukungan, justru orang tua seringkali  menurunkan  minat anak-anak muda yang ingin menjadi petani. Umumnya orang tua akan lebih bangga jika anak-anaknya menjadi dokter, birokrat, pilot dan profesi lainnya yang dianggap lebih prestisius. Indikasi seperti ini salah satunya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah pertanian ataupun fakultas-fakultas pertanian, terutama di perguruan tinggi swasta, yang kondisinya kekurangan mahasiswa.

Akhirnya banyak para pemuda, terutama yang tinggal di desa, lebih tertarik pada pekerjaan-pekerjaan non-pertanian di kawasan kota-kota besar. Mereka bekerja di sektor non-pertanian seperti  menjadi pegawai, buruh pabrik, buruh bangunan, jasa transportasi baik yang formal maupun non-formal, yang menurut pandangannya lebih bergengsi. Kalau mereka mempunyai keahlian spesifik, tentu hal ini bukan masalah. Namun, tak sedikit dari mereka yang tak mempunyai keahlian spesifik dan keberuntungan justru menjadi beban di kota karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

Lalu, solusi apakah yang dapat kita ambil dari kenyataan ini?
             
Ubah paradigma berpikir (mindset) tentang pertanian. Untuk menumbuhkan minat dan kemauan serta mengubah paradigma berpikir tentang pertanian dapat dimulai dengan membangun citra pertanian. Paradigma berpikir tentang pertanian selama ini sedikit banyak telah menurunkan citra pertanian terutama bagi pemuda. Paradigma berpikir harus kita ubah, bahwa pertanian bukan sekadar mencangkul di sawah dan menjadi petani tidak selalu identik dengan kemiskinan. Pertanian bukanlah sektor tradisional yang kurang bergengsi dan tidak memberikan nilai tambah,  tetapi merupakan sektor strategis yang mampu memberikan nilai tambah yang berlipat jika dikelola secara profesional seperti sektor-sektor lainnya. Bahkan kemajuan sektor-sektor lain sangat tergantung pada kemajuan sektor pertanian.
             
Untuk membangun citra pertanian, diperlukan sosialisasi maupun kampanye-kampanye pertanian yang diharapkan  mampu  membuat generasi muda sadar akan pentingnya pertanian dengan segala potensi yang dimilikinya. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi. Selanjutnya, yang perlu dilakukan adalah membuat  pusat pendidikan dan latihan kerja yang khusus untuk bidang pertanian. Pusat pendidikan dan latihan ini sangat diperlukan yang nantinya akan menjadi sarana penggemblengan dan menjadi pusat mengasah keterampilan bertani pemuda maupun pusat informasi dunia pertanian terkini.
            
Demikian  juga adanya program pertukaran pemuda tani, sangat menarik dan perlu dilakukan. Kalau selama ini pertukaran pelajar dan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu seringkali dilakukan, apa salahnya jika  program  pertukaran pemuda tani juga dilakukan untuk memberi kesempatan para petani-petani muda, utamanya yang tinggal di pedalaman pedesaan untuk pengembangan wawasan  pertaniannya. Ini sekaligus sebagai suatu upaya untuk menampilkan wajah pertanian yang menarik bagi semua orang, khususnya orang muda di pedesaan.
            
Berikutnya adalah dengan menanamkan nilai-nilai nasionalisme  dalam benak pemuda bahwa menjadi petani adalah  salah satu bentuk rasa cinta tanah air karena bertani adalah  mempertahankan identitas asli bangsa sebagai bangsa agraris dan melestarikan nilai-nilai luhur yang berkepribadian yang tercermin dari aktivitas bertani. Dimana dalam bertani akan timbul jiwa-jiwa yang sederhana, jujur, dan mengedepankan budi pekerti.  
             
Namun, yang terpenting dari  semua itu adalah tetap diperlukan keberpihakan kebijakan yang pro-petani dan  pertanian. Segala upaya di atas jika tanpa dibarengi dengan keberpihakan pembuat kebijakan tetap saja tak akan mampu menarik pemuda untuk menjadi petani.
             
Dengan demikian, diharapkan ke depan pertanian akan lebih menarik bagi generasi muda. Regenerasi petani pun tak akan berhenti dan profesi petani akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi kaum muda. Pemuda akan mengoptimalkan diri berpartisipasi dalam pembangunan pertanian sekaligus menjadikan pertanian sebagai tumpuan masa depan. Jangan sampai ke depannya Indonesia justru menjadi negeri agraris yang semakin terpuruk, namun sebaliknya Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang sejahtera dan bangsa agraris yang bersahaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar