Indonesia
dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di
bidang pertanian atau bercocok tanam.
[1] Data statistik pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 45% penduduk Indonesia bekerja di bidang
agrikultur. [2] Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa
negara ini memiliki lahan seluas lebih dari 31 juta ha yang telah siap tanam, dimana sebagian besarnya dapat
ditemukan di Pulau Jawa. [3]
Sebagai negara yang sangat potensial
di sektor pertanian, sudah selayaknya Indonesia menjadi salah satu Negara makmur di dunia.
Bagaimana tidak, kekayaan negeri ini sangat
melimpah ruah. Di segala sektor kehidupan menjamin secara pasti kesejahteraan
manusia. Namun sayangnya, kualitas sumber
daya manusia yang ada di Indonesia belum sebanding dengan ketersediaan sumber
daya alam yang ada.
Sebuah ironi. Negeri yang menyandang
predikat agraris ini nyatanya tidak mampu melakukan regenerasi petani dengan baik. Regenerasi
petani sepertinya sudah digerus zaman. Anak-anak muda sudah tidak mau lagi
menjadi petani. Ketika kesejahteraan sudah tidak bisa didapat lagi dari lahan
pertanian, mereka pun meninggalkannya. Akibatnya, jumlah petani semakin
menyusut dan tinggalah mereka yang tua yang masih bertahan. Bertahan ditengah himpitan
sulitnya bertani karena harga pupuk yang mahal dan harga jual yang tidak
begiitu menguntungkan.
Menjadi
kajian yang sangat menarik ketika kita berbicara tentang minat generasi muda
yang minim sekali dalam sektor pertanian. Pertama, adanya kecenderungan para
pemuda terutama yang tinggal di kawasan pedesaan yang kurang tertarik terhadap
dunia pertanian. Hal ini tentunya berakibat nyata bahwa dalam sektor pertanian banyak
didominasi oleh generasi tua yang umumnya kurang responsif terhadap perubahan.
Di samping itu, dalam pandangan pemuda bertani adalah pekerjaan
tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya disamping tidak segera dapat
dinikmati juga jumlahnya relatif tak memadai. Hal ini selain ditinjau secara
ekonomi juga didukung oleh budaya instan
dan ingin cepat menghasilkan, sementara pertanian memerlukan proses panjang,dibutuhkan
keuletan dan kesabaran dalam menghadapi
berbagai resiko internal dan eksternal. Ditambah lagi dengan berbagai kebijakan
yang tidak pro-petani dan justru seringkali membuat pertanian dipandang sebelah mata dan dijadikan
komoditas politik tanpa mempedulikan nasib dan masa depan pertanian.
Kedua, kurangnya dukungan para orang tua baik secara
mental maupun material terhadap anak-anak muda untuk menjadi petani. Alih-alih
memberikan dukungan, justru orang tua seringkali menurunkan minat anak-anak muda yang ingin menjadi
petani. Umumnya orang tua akan lebih bangga jika anak-anaknya menjadi dokter,
birokrat, pilot dan profesi lainnya yang dianggap lebih prestisius. Indikasi
seperti ini salah satunya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah
pertanian ataupun fakultas-fakultas pertanian, terutama di perguruan tinggi
swasta, yang kondisinya kekurangan mahasiswa.
Akhirnya banyak para pemuda,
terutama yang tinggal di desa, lebih tertarik pada pekerjaan-pekerjaan
non-pertanian di kawasan kota-kota besar. Mereka bekerja di sektor
non-pertanian seperti menjadi pegawai,
buruh pabrik, buruh bangunan, jasa transportasi baik yang formal maupun
non-formal, yang menurut pandangannya lebih bergengsi. Kalau mereka mempunyai
keahlian spesifik, tentu hal ini bukan masalah. Namun, tak sedikit dari mereka
yang tak mempunyai keahlian spesifik dan keberuntungan justru menjadi beban di
kota karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Lalu, solusi apakah yang dapat kita
ambil dari kenyataan ini?
Ubah paradigma berpikir (mindset) tentang pertanian. Untuk
menumbuhkan minat dan kemauan serta mengubah paradigma berpikir tentang
pertanian dapat dimulai dengan membangun citra pertanian. Paradigma berpikir
tentang pertanian selama ini sedikit banyak telah menurunkan citra pertanian
terutama bagi pemuda. Paradigma berpikir harus kita ubah, bahwa pertanian bukan
sekadar mencangkul di sawah dan menjadi petani tidak selalu identik dengan
kemiskinan. Pertanian bukanlah sektor tradisional yang kurang bergengsi dan
tidak memberikan nilai tambah, tetapi
merupakan sektor strategis yang mampu memberikan nilai tambah yang berlipat
jika dikelola secara profesional seperti sektor-sektor lainnya. Bahkan kemajuan
sektor-sektor lain sangat tergantung pada kemajuan sektor pertanian.
Untuk membangun citra pertanian, diperlukan
sosialisasi maupun kampanye-kampanye pertanian yang diharapkan mampu membuat generasi muda sadar akan pentingnya
pertanian dengan segala potensi yang dimilikinya. Sosialisasi dapat dilakukan
dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi. Selanjutnya, yang perlu
dilakukan adalah membuat pusat
pendidikan dan latihan kerja yang khusus untuk bidang pertanian. Pusat
pendidikan dan latihan ini sangat diperlukan yang nantinya akan menjadi sarana
penggemblengan dan menjadi pusat mengasah keterampilan bertani pemuda maupun
pusat informasi dunia pertanian terkini.
Demikian juga adanya program pertukaran pemuda tani,
sangat menarik dan perlu dilakukan. Kalau selama ini pertukaran pelajar dan
mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu seringkali dilakukan, apa salahnya jika program pertukaran pemuda tani juga dilakukan untuk
memberi kesempatan para petani-petani muda, utamanya yang tinggal di pedalaman
pedesaan untuk pengembangan wawasan pertaniannya.
Ini sekaligus sebagai suatu upaya untuk menampilkan wajah pertanian yang
menarik bagi semua orang, khususnya orang muda di pedesaan.
Berikutnya adalah dengan menanamkan
nilai-nilai nasionalisme dalam benak
pemuda bahwa menjadi petani adalah salah
satu bentuk rasa cinta tanah air karena bertani adalah mempertahankan identitas asli bangsa sebagai
bangsa agraris dan melestarikan nilai-nilai luhur yang berkepribadian yang
tercermin dari aktivitas bertani. Dimana dalam bertani akan timbul jiwa-jiwa
yang sederhana, jujur, dan mengedepankan budi pekerti.
Namun, yang terpenting dari semua itu adalah tetap diperlukan keberpihakan
kebijakan yang pro-petani dan pertanian.
Segala upaya di atas jika tanpa dibarengi dengan keberpihakan pembuat kebijakan
tetap saja tak akan mampu menarik pemuda untuk menjadi petani.
Dengan demikian, diharapkan ke depan
pertanian akan lebih menarik bagi generasi muda. Regenerasi petani pun tak akan
berhenti dan profesi petani akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi kaum muda.
Pemuda akan mengoptimalkan diri berpartisipasi dalam pembangunan pertanian
sekaligus menjadikan pertanian sebagai tumpuan masa depan. Jangan sampai ke
depannya Indonesia justru menjadi negeri agraris yang semakin terpuruk, namun
sebaliknya Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang sejahtera dan
bangsa agraris yang bersahaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar